Menelusuri Hakikat Ibadah Haji: Pengalaman, Renungan, dan Makna Ruhaniah

Bagikan Info Ini:

Tulisan ini merupakan ungkapan pengalaman dan refleksi selama menjalankan ibadah haji untuk kedua kalinya pada tahun 2024. Dalam perjalanan dari Asrama Haji di Medan hingga kembali ke tanah air, saya menyadari bahwa banyak jamaah yang masih memandang ibadah ini sebatas pada aspek hukum syariat dan fiqih saja. Padahal, semestinya ibadah haji juga dipahami melalui aspek kesejarahan, kisah para nabi, dan perjalanan tokoh-tokoh pilihan yang memiliki andil besar dalam sejarah ritual ini.

Sayangnya, sebagian besar jamaah tampaknya hanya berfokus pada harapan akan pahala atau melihat haji sebagai wisata rohani. Hal ini sering kali menjadi modal utama mereka, yang kurang dilengkapi dengan pemahaman mendalam tentang makna spiritual perjalanan ini. Sejatinya, ibadah haji bukan hanya tentang melaksanakan rukun-rukun fiqih, tetapi juga tentang menembus dimensi ruhani dan memahami hakikat bertamu kepada Allah.

Haji: Undangan Allah dan Panggilan Ibrahim
Ibadah haji adalah perintah Allah yang bermula dari seruan Nabi Ibrahim setelah membangun Baitullah bersama keluarganya. Allah memerintahkan Ibrahim untuk menyeru manusia agar datang berhaji (QS Al-Hajj: 27). Dalam konteks ini, “mampu” atau istithoah tidak hanya bermakna kesiapan fisik dan finansial, tetapi juga kesiapan intelektual dan spiritual. Pemahaman tentang sejarah ibadah haji, kisah Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail, serta asal-usul tempat suci seperti Ka’bah, Shafa-Marwah, Arafah, Muzdalifah, dan Mina menjadi elemen penting yang harus dikuasai sebelum berhaji.

Tanpa pemahaman ini, banyak jamaah kehilangan makna mendalam dari ritual-ritual yang dilakukan, sehingga hati sulit terlibat dalam prosesi penuh simbol dan isyarat ilahiyah yang ada. Oleh karena itu, kekhusyukan ruhani menjadi kunci utama untuk meresapi setiap tahapan ibadah ini.

Menapak Tilasi Perjuangan Para Nabi
Haji sejatinya adalah perjalanan menapak tilasi perjuangan Nabi Ibrahim, Siti Hajar, dan Nabi Ismail. Dalam setiap langkah, jamaah diajak merenungi keteladanan mereka dalam mengimani dan menundukkan diri kepada Allah.

Ritual seperti tawaf di sekitar Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwah, serta wukuf di Arafah bukan sekadar aktivitas fisik, tetapi juga sarana untuk merenungkan kebesaran Allah dan pengorbanan para nabi. Jika jamaah memahami makna historis dan spiritual di balik ritual ini, maka ibadah haji akan menjadi pengalaman transformatif yang menghubungkan ruh dan jasad, menjadikan jiwa sebagai imam dan jasad sebagai makmum.

Haji Bukan Sekadar Gelar atau Formalitas
Haji bukanlah perjalanan untuk memperoleh gelar “Pak Haji” atau “Bu Hajjah,” melainkan momen untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tujuan utamanya adalah mencapai kemabruran, yang ditandai dengan perubahan akhlak, kedalaman iman, dan komitmen menjalani hidup sesuai ajaran Islam.

Kesadaran ini menjadi penting agar jamaah tidak terjebak dalam rutinitas ibadah yang hanya menyentuh fisik, tanpa melibatkan hati dan pikiran. Jika ruhani tidak menjadi pemimpin, maka perjalanan ini bisa kehilangan makna, bahkan terasa menjemukan.

Makna Ruhani: Menemukan Cahaya Ilahi di Tanah Haram
Ka’bah, sebagai Baitullah, adalah simbol kehadiran Allah di bumi. Namun, rumah Allah yang sejati ada di dalam hati setiap manusia yang bersih dan penuh kesadaran ilahiyah. Sebab hanya hati berisi kesadaranlah yang dapat menjangkau wilayah ilahiyat itu. Melalui ibadah haji, jamaah diajak untuk membersihkan hati, mendekatkan diri kepada Allah, dan merasakan resonansi antara Baitullah di sana dengan baitullah dalam qalbu mereka. Sehingga terjalin kemenyatuan dalam rasa serta kesadaran dengan diri karena dengan wujud-Nyalah perjalanan berkehidupan itu nyata baik yang kemarin, saat ini disini atau esok yang lebih mengekal.

Dalam firman Allah:
“Sesungguhnya solatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Tuhan Semesta Alam” (al-An’am: 162),
“Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (QS Thaha: 14), serta sabda Rasulullah: “Haji itu adalah wukuf di Arafah.” Di Arafah, jamaah bermunajat, bermuhasabah, dan memohon ampunan, sehingga berpotensi meraih jiwa yang suci dan hati yang selamat (qalbun salim).

Kesimpulan
Perjalanan haji atau umrah membutuhkan istithoah yang mencakup kesiapan fisik, finansial, intelektual, dan spiritual. Pemahaman tentang sejarah, fiqih, dan makna ruhaniyah ibadah ini sangat penting agar jamaah dapat merasakan kedalaman maknanya.

Haji bukan hanya tentang ritual fisik, tetapi tentang perjalanan menuju Allah, menapaki jejak perjuangan para nabi, dan menemukan cahaya ilahi di hati. Dengan demikian, ibadah haji menjadi momen untuk mengontektualisasi jasad dan ruh, bahkan deklarasi ulang akan Ruhani sebagai Imamnya sang Jasad nisbi dalam konteks mempertegas posisi Allah sebagai sutradara hidup, serta menjalani kehidupan dengan ketundukan penuh kepada-Nya.

ditulis Oleh: Drs. Irwan Saleh Dalimunthe, M.A (Dosen Filsafat Pendidikan Islam UIN Syahada Padangsidimpuan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *