Membaca Peluang Perdamaian, Setelah Badai Al- Aqsa

Bagikan Info Ini:

Serangan roket milik pejuang Harakat Al-Muqawamah Al-Islamiyah (Hamas) ke tanah Israel Sabtu, 7 Oktober 2023 lalu berhasil membuat kaget publik Israel. Operasi militer yang dinamakan Al-Aqsa Storm atau Badai Al-Aqsa ini sukses menghancurkan banyak instalasi militer, menawan puluhan prajurit, sekaligus menciptakan kepanikan di tengah-tengah masyarakat Israel. Publik Israel pantas kaget dan panik dengan serangan Hamas kali ini. Pasalnya, setelah sekian lama konflik Hamas-Israel terjadi, bisa dikatakan Badai Al-Aqsa merupakan operasi militer Hamas paling sukses satu dekade terakhir. Dikatakan sukses karena serangan ini berhasil tembus sampai Tel Aviv dan berdampak signifikan terhadap Israel. Badai Al-Aqsa menjadi bukti bahwa perlawanan atas pendudukan Israel masih ada dan masih bisa memberi ancaman signifikan terhadap Israel.

Tiap kelompok yang terlibat dalam konflik Israel-Palestina punya dasar argumentasi masing-masing. Umumnya ada dua kacamata untuk melihat konflik Israel-Palestina. Ada yang melihat menggunakan kacamata agama, ada pula yang menggunakan kacamata politik. Kedua pendapat ini sahih karena digunakan oleh tiap pihak yang berkonflik sebagai legitimasi atas tindakan mereka.

Mereka yang memakai kacamata politik melihat konflik Israel-Palestina sebagai persoalan pendudukan tanah Palestina oleh orang Israel secara sepihak. Pendudukan ini berhasil karena didukung oleh kekuatan barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya. Sedangkan yang melihat menggunakan pendekatan agama berpendapat bahwa konflik Israel-Palestina merupakan lanjutan dari perang panjang antara Islam dan Yahudi.

Dua entitas yang berkonflik hari ini, sama-sama menggunakan dua pendekatan ini untuk mendasarkan sikap mereka dalam konflik. Di tubuh Palestina, Hamas yang kini sedang berperang secara terbuka dengan Israel, melihat bahwa perang antara Israel-Palestina adalah perang politik sekaligus perang agama. Bagi Hamas, perlawanan atas pendudukan Israel selain bermakna sebagai perjuangan untuk membebaskan tanah Palestina dari penjajah, juga bermakna sebagai perang suci antara Islam dengan Yahudi. Karena itu, Hamas punya sikap politik yang sangat anti-Israel dan menolak kompromi dengan Israel. Hamas tidak mengakui eksistensi Israel sebagai negara berdaulat. Itulah sebabnya Hamas menolak perjanjian Oslo antara PLO dengan Israel tahun 1993. Penolakan ini menjadi pembeda antara Hamas dengan para organisasi lain anggota PLO.  

Di pihak Israel pun sebenarnya sama. Israel kini dipimpin oleh Benjamin Netanyahu dari partai Likud. Netanyahu menjadi PM Israel setelah menang dalam pemilu tahun 2022 lalu. Sebelum menang dalam pemilu 2022, Netanyahu pernah menjadi PM Israel selama 12 tahun, tepatnya sejak 2009-2021. Dilansir dari britannica.com, Likud adalah salah satu partai sayap kanan Israel yang paling berpengaruh. Secara ideologis, Likud merupakan partai konservatif dan nasionalis.

Colin Shindler dalam The Land Beyond Promise: Israel, Likud and the Zionist Dream(2001), meyebut bahwa dalam Perjanjian Oslo tahun 1993 antara PLO dan Israel, Likud mengambil sikap menolak terhadap perjanjian tersebut. Likud bersama kelompok sayap kanan Israel memandang PLO sebagai teroris yang tidak layak diajak bernegosiasi. Selain itu, Likud khawatir kalau penduduk Israel bakal tergusur dari wilayah yang mereka anggap sebagai tanah nenek moyang. Karena itulah Likud menentang upaya penyerahan sebagian besar tanah ke tangan Palestina dan pembongkaran pemukiman Israel di wilayah yang ditaklukkan Israel pada tahun 1967. Likud juga keras menentang pembentukan negara Palestina dalam kondisi apa pun. Konflik antara Israel-Palestina satu dekade terakhir tidak lain terjadi karena kontribusi Likud sebagai partai utama dalam pemerintahan Israel.

Likud walaupun masih terbuka terhadap perundingan, tapi sangat kaku terhadap nilai-nilai yang mereka percayai dan dianggap sakral. Likud sama dengan Hamas dalam posisi sama-sama kelompok sayap kanan yang teguh dengan pendapatnya masing-masing. Likud yang menganggap tanah Palestina adalah tanah leluhur mereka dan sudah seharusnya menjadi milik mereka, bertabrakan dengan Hamas yang menganggap Israel sebagai penjajah karena merebut tanah yang telah mereka tempati sebelumnya secara sepihak. Keduanya tidak ada titik ketemu. Likud menganggap Hamas teroris. Sedangkan Hamas menganggap Likud sebagai penjajah. Karena itu potensi konflik Hamas-Israel kali ini bakal makin membesar dan berlarut-larut sangat mungkin terjadi. Pihak-pihak yang sekarang berseteru ialah mereka yang memang sama-sama konservatif dan tidak mau mengalah. Perang masih akan terus berlangsung dan korban nyawa dari kedua belah pihak tetap akan terus berjatuhan.

Oleh sebab itu, masa depan konflik Israel-Palestina menjadi makin rumit untuk diselesaikan jika berkaca pada situasi saat ini. Meski rumit, bukan berarti peluang untuk tercipta perdamaian yang adil di kedua belah pihak lenyap. Peluang perdamaian tentu masih ada. Tapi peluang itu sepertinya masih sulit untuk diwujudkan jika keadaan yang berkembang masih seperti sekarang.

Baca Selengkepnya di https://arina.id/perspektif/ar-o7WSp/hamas–badai-al-aqsa–dan-peluang-perdamaian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *